Alunan alat tiup sarune bolon atau serunai mengiringi Tumpan Sinaga (60) menari. Ia meliuk-liuk sambil memeluk dan mengelus tongkat berukir patung manusia. Ia berperan sebagai dukun sakti.Tumpan juga berbicara dengan tongkat yang dalam tradisi Batak kuno disebut ”tunggal panaluan”. Suara sarune, gondang (gendang), dan taganing yang terdengar monoton mengantar Tumpan memasuki kondisi trance.
Toba Lake in North Sumatra
Dalam kondisi itu, ia berdialog dengan tunggal panaluan, tongkat yang dalam tradisi
Batak kuno dipercaya bisa mendatangkan hujan, menahan hujan, menolak bala, wabah, mengobati penyakit, membantu mendeteksi musuh dalam peperangan, dan masih banyak lagi kesaktian lainnya.
Sang dukun lalu memakan sesajian berupa nasi, ayam rebus utuh, ubi, daun sirih, bunga dan bermacam sesajian lainnya. Ia juga meminum tuak dari buluh bambu. Selesai makan, sang dukun menyuapi kedua muridnya.
Ritual tongkat tunggal panaluan menjadi salah satu pembuka acara Festival
Danau di Kota Parapat. Tradisi budaya masyarakat
Batak kuno ini ditampilkan oleh Sanggar Budaya Nauli dari Kota Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Menurut Hamonangan Sirait, Ketua Sanggar Budaya Nauli, pertunjukan tongkat tunggal panaluan yang lengkap dengan sesajian dan ritual mistis lainnya jarang dipertontonkan karena dilarang oleh agama.

Sanggar Budaya Nauli didirikan tahun lalu oleh masyarakat Parapat yang peduli dengan pelestarian budaya
Batak Toba. ”Banyak tradisi yang sebenarnya menarik untuk dikemas menjadi suguhan pariwisata,” tutur Hamonangan. Sejak didirikan, banyak remaja ikut bergabung di sanggar ini. Kini anggota sanggar mencapai 30 orang dan mereka rajin tampil di setiap kegiatan budaya yang diadakan di Sumatera Utara.
DilemaMasyarakat
Batak dikenal sangat teguh memegang tradisi meski sebagian besar tradisi lama tadi sudah bergeser setelah agama Kristen masuk ke tanah
Batak melalui penginjil Nommensen tahun 1862.
Benturan ajaran agama dengan tradisi asli masyarakat
Batak membuat upaya untuk mengangkat kekhasan budaya lokal menjadi sulit dilakukan. Padahal, tontonan budaya, selain berfungsi untuk pelestarian, juga menguntungkan untuk pariwisata. ”Sekarang ini banyak anak muda
Batak yang tidak lagi mengenal budaya asli
Batak,” kata Mangiring (57), Kepala Adat Desa Tomok, Kabupaten Samosir.
Namun, upaya untuk menghidupkan budaya asli
Batak tetap dilakukan. Di Tomok, misalnya, tarian si gale-gale, yaitu boneka kayu yang aslinya digerakkan dengan kekuatan mistis, sudah digantikan dengan tali. Demikian juga dengan si gale-gale di kampung tua Hutabolon Simanindo. Tradisi lokal yang belum dikemas oleh industri pariwisata inilah, kata Mangiring, yang menyebabkan
Danau Toba ditinggalkan turis.
”Kalau hanya melihat pemandangan alam, turis akan cepat bosan. Seharusnya alam itu menyatu dengan tradisi masyarakatnya,” tutur Mangiring.

Ia ingin wisata
Danau Toba mengikuti keberhasilan
Bali yang mampu menyatukan tradisi dengan wisata alamnya. Untuk mendatangkan turis ke
Danau Toba, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan pemerintah lima kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Karo, menghidupkan kembali Festival
Danau Toba. Di festival berbagai kegiatan budaya digelar, seperti tari tradisional
Batak (manortor), permainan gondang, tunggal panaluan, dan pentas musik etnik
Batak.
Selain festival, pemerintah juga memperbaiki lapangan terbang Sibisa dan Silangit yang berada di Pulau Samosir. Nantinya akan ada penerbangan langsung menuju Pulau Samosir, baik dari Medan maupun
Jakarta.
Agama kunoJauh dari hiruk-pikuk kepentingan pariwisata di
Danau Toba, sebagian masyarakat
Batak di kawasan
danau itu tetap memegang teguh budaya asli nenek moyang mereka, yakni budaya yang diajarkan oleh Ugamo Malim atau Parmalim. Jumlah pengikut Parmalim saat ini hanya tersisa sekitar 1.500 orang.
Sebagian besar penganut Parmalim tinggal di pesisir
Danau Toba, seperti di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Di desa ini mereka tinggal di rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap ijuk. Bila malam tiba, rumah mereka diterangi lampu listrik seadanya. Pemeluk Parmalim juga terbiasa berjalan tanpa alas kaki.
Ajaran Parmalim yang mengajarkan nilai-nilai luhur ketuhanan serta cinta sesama manusia dan lingkungan hidup ini dianut semua orang
Batak sebelum agama Kristen, Katolik, dan Islam masuk ke tanah
Batak. Karena itu, Parmalim dianggap sebagai agama kuno orang
Batak.
”Umat Parmalim memegang teguh ajaran bahwa
Danau Toba merupakan sumber air minum, sumber penghidupan, sumber nafkah bagi warga yang tinggal di sekitarnya,” kata Raja Marnangkok Naipospos yang menjadi Ulu Punguan atau pemimpin tertinggi Parmalim di Desa Hutatinggi. Karena itu, dalam Parmalim terdapat ramun atau larangan terhadap pengikutnya untuk merusak
Danau Toba, seperti membuang sampah di
danau atau mencemari air
danau.
Umat Parmalim juga menganggap air
Danau Toba itu suci dan mengambilnya untuk kepentingan ritual keagamaan. Namun, sejak 50 tahun lalu mereka beralih ke air pegunungan atau sumur karena air
Danau Toba banyak tercemar oleh limbah yang dihasilkan oleh warga sekitar
danau atau ratusan hotel dan bangunan komersial lainnya.
”Masyarakat hanya mengeruk berkah
Danau Toba, tetapi tidak mau merawatnya,” ujar Mananha Sitorus (29), penganut Parmalim.
Ia yakin bila manusia berbuat baik kepada alam, alam juga akan berbuat baik kepada manusia.
WisataJika Anda merasa bersemangat, lakukanlah kegiatan menarik yang ditawarkan di sini. Di Parapat, ada banyak fasilitas untuk berenang, bermain ski air, mengendarai motor boat, menaiki kano, memancing dan bermain golf. Dari Parapat Anda dapat berjalan-jalan santai di bukit Sungai Naborsahon dimana Anda akan melihat bunga bugenvil, pointetties, honey suckle yang spektakuler berbunga sepanjang tahun. Banyak pengunjung yang datang mengahabuskan waktu di
danau dengan berenang di air yang menyegarkan atau menyewa perahu layar mengelilingi
danau yang besar tersebut. Tidak perlu khawatir tersengat sinar matahari karena iklim di sini sejuk dan kering dengan pemandangan
danau yang indah, tempat ini adalah tempat yang ideal untuk bersantai. Sambil melihat matahari terbenam di
Danau Toba adalah cara yang sempurna untuk bersantai dan menghabuskan waktu bersama orang yang Anda sayangi.
Danau ini memiliki sejarah magis yang dipercayai masyarakat setempat sebagai tempat tinggal Namborru (tujuh dewi nenek moyang Suku
Batak). Ketika suku
Batak akan melakukan upacara di sekitar
danau, mereka harus berdoa dan meminta izin dari Namborru terlebih dahulu. Waktu terbaik untuk melihat ritual tradisional dilakukan adalah saat upacara Pesta Masyarakat
Danau Toba tahunan, dimana banyak upacara dilakukan untuk menghormati nenek moyang
Danau Toba. Festival ini adalah perayaan kebudayaan
Batak menampilkan upacara tradisional, acara olah raga, nyanyian, dan tarian
Batak. Selain itu Setahun sekali diadakan Pesta Rakyat
Danau Toba.
Di Samosir, Anda juga dapat berjalan-jalanlah ke pedalaman dan menjelajahi dua
danau yang lebih kecil yaitu Danau Sididhoni dan Aek Natonang. Jika Anda masih belum merasa puas dengan suasana di Samosir, jelajahi pedalaman dengan trekking ke dataran tinggi. Sebaiknya tanya hotel atau masyarakat setempat tentang rutenya karena jalannya dapat berlumpur dan licin tergantung cuaca. Lihat juga perbedaan arsitektur tradisional dengan rumah
Batak Toba yang majemuk. Jika anda tertarik dengan tempat wisata bernuansa kehidupan tradisional maka Anda harus mengunjungi Desa Tomok yaitu desa tradisional di Pulau Samosir. Di sini Anda dapat mengetahui lebih jauh tentang sejarah dan adat istiadat setempat dengan mengunjungi komplek pemakaman Raja Sidabutar dimana Anda akan melihat sketsa batu yang unik. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang kehidupan dan masyarakat
Batak, kunjungilah desa tradisional Jangga penghasil kain ulos yang berjarak sekitar 24 km dari Parapat. Di tepi
Danau Toba juga terlihat Wisma Soekarno, tempat Presiden pertama
Indonesia diasingkan, dengan desain bangunan yang dicat dengan warna putih nan megah.
source : yahoo.com